Setitik Kenangan cerrpen Karangan: Rio
Prasetya.
Setitik kenangan datang kepada ku pagi ini.
Menyapa di tengah dinginnya udara yang berhembus. Kenangan itu tak datang
sendiri, namun ia membawa bayangmu bersamanya. Terasa sungguh menyenangkan,
sekaligus menyakitkan begitu ingat kau tak berada di dekat ku. Setitik kenangan
yang datang tak hanya bersama bayangmu, namun juga bersama kenangan yang kita
bangun. Kenangan yang kita tanam di dasar, kenangan yang tak akan pernah kita
bagi pada siapapun.
Setitik kenangan itu perlahan melebar. Menjadi
terang dan jelas seperti ketika kau membuka mata dari tidurmu. Hanya saja yang
kau lihat bukanlah sebuah kenyataan – setidaknya kenyataan saat kini. Setitik
kenangan yang menjelma menjadi nostalgia.
Menjelajahi kenanganku sendiri bagaikan membuka
lembaran buku yang sudah uzur. Semakin aku membukanya dengan kasar, lembaran
itu semakin rapuh dan hancur. Tapi apa daya, aku terlalu bersemangat untuk
mengingat kali pertama kita bertemu.
Kau datang bagaikan kepakan sayap kupu-kupu. Tak
ada rasa, tak ada hentakan, tak ada gelora. Aku bahkan sama sekali tak
memberikan sedikitpun perhatian padamu. Namun layaknya kepakan sayap kupu-kupu,
kamu malah membuatku terjebak dalam badai, lama setelah kedatanganmu.
Aku selalu menghubungkanmu dengan sebuah rasa.
Rasa hangat yang ku dapat ketika badanku bermandikan sinar matahari, namun aku
sedang berada di dalam ruangan dengan penyejuk udara. Rasa hangat namun dingin
yang begitu aku candui.
Berbagai pertanyaan selalu memenuhi benakku, dan
semuanya berawal dari satu kata yaitu ‘jika’.
Bagaimana jika kamu lebih dulu bertemu dengan
orang lain?
Bagaimana jika aku tidak berada di kelas yang sama denganmu?
Bagaimana jika aku membawa kendaraanku sendiri, sehingga kamu tidak mengantarkanku?
Bagaimana jika aku tidak menunggumu di bawah hujan, berharap kamu akan datang bagaikan atap di bawah kelabu?
Bagaimana jika aku tidak berada di kelas yang sama denganmu?
Bagaimana jika aku membawa kendaraanku sendiri, sehingga kamu tidak mengantarkanku?
Bagaimana jika aku tidak menunggumu di bawah hujan, berharap kamu akan datang bagaikan atap di bawah kelabu?
Alam semesta selalu punya caranya sendiri untuk
berjalan. Sedangkan kita hanya bisa mengikuti jalannya alam semesta. Konspirasi
picisan yang membuat aku terjebak bersamamu, menjalin sebuah benang yang tebal
namun rapuh.
Kita bisa selalu bersama, namun kita tak akan bisa
bersatu.
_tamat_
baca lagi cerpen lainnya, klik disini